
Prof. Ir. Sarjiya, S.T., M.T., Ph.D., IPU., dosen Departemen Teknik Elektro dan Teknologi Informasi (DTETI) UGM sekaligus Kepala Pusat Studi Energi UGM, tampil sebagai narasumber dalam forum nasional PJCI Energy Talk 22 yang digelar secara daring pada Rabu (25/6). Forum ini mengangkat tema “Strengthening the Role of Demand in Indonesia’s Power Sector: Concrete Steps Toward an Efficient and Sustainable Future”, yang menjadi ruang diskusi strategis lintas pemangku kepentingan untuk memperkuat peran sisi permintaan (demand side) dalam sistem ketenagalistrikan nasional. Prof. Sarjiya hadir bersama para pakar dan praktisi untuk membahas teknologi Smart Grid serta rancangan regulasi yang mendukung efisiensi energi di masa depan.
Dalam sesi bertajuk “Peluang Implementasi Demand Response Management System di Indonesia”, Prof. Sarjiya memaparkan konsep demand response (DR) sebagai strategi untuk mengajak konsumen listrik menyesuaikan pola konsumsi energi sesuai kondisi pasokan—terutama saat beban puncak atau kondisi siaga. Strategi ini dinilai penting untuk mengurangi ketergantungan pada pembangkit yang mahal dan tidak ramah lingkungan, serta memberi fleksibilitas lebih besar bagi sistem kelistrikan. Bahkan, konsumen bisa diberikan insentif jika mampu menggeser konsumsi ke waktu yang lebih efisien atau lebih murah.
Ia juga menjelaskan bagaimana DR bisa diimplementasikan melalui pendekatan peak shaving dan load shifting. Peak shaving adalah pengurangan konsumsi energi saat beban puncak, sementara load shifting adalah pengalihan konsumsi ke jam-jam yang lebih rendah. Efektivitas kedua pendekatan ini, menurut Prof. Sarjiya, sangat dipengaruhi oleh fleksibilitas pelanggan. Semakin fleksibel pelanggan dalam menyesuaikan konsumsi, semakin besar dampak efisiensi yang bisa dicapai.
Namun, penerapan DR di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan. Data menunjukkan bahwa pemanfaatan sumber energi terdistribusi (DER) dan energi terbarukan (VRE) masih terkonsentrasi di wilayah tertentu seperti Jawa Timur, Bali, dan Sulsel, sementara EV Charging Station (EVCS) memang lebih merata, dengan Jakarta memimpin sebanyak 889 unit. Ini menunjukkan bahwa infrastruktur pendukung transisi energi belum merata dan perlu diperluas agar strategi demand response bisa berjalan optimal.
Dari sisi teknologi, penyebaran smart meter masih belum menyasar segmen strategis. Mayoritas masih terpasang di rumah tangga berdaya kecil, padahal pelaku industri atau bisnis justru punya potensi dampak yang lebih besar dalam pengelolaan beban. Secara regulasi, belum ada aturan pasti terkait tarif real-time, mekanisme insentif, maupun arahan pelaksanaan dari PLN Pusat. Bahkan secara kelembagaan, belum ada struktur organisasi khusus dalam PLN yang menangani implementasi DR secara langsung dan menyeluruh.
Prof. Sarjiya kemudian memaparkan empat model arsitektur demand response berdasarkan cara kerja dan tingkat keterlibatan pelaku: Unidirectional Pricing, Direct Procurement, Aggregation, dan Peer-to-Peer (P2P) Trading. Berdasarkan analisis antara dampak dan usaha (impact–effort), dua model pertama dinilai sebagai quick wins yang mudah diterapkan dan sudah cukup berdampak: Unidirectional Pricing (operator memberi sinyal harga kepada pelanggan), dan Direct Procurement (operator langsung berkomunikasi dengan pelanggan untuk pengaturan konsumsi). Sementara model Aggregation dan P2P Trading dinilai memerlukan investasi dan regulasi lebih lanjut, sehingga implementasinya perlu waktu dan pertimbangan matang.
Sebagai penutup, Prof. Sarjiya mendorong agar penguatan peran demand side dalam kelistrikan nasional dilakukan secara bertahap dan berbasis data. Model-model yang paling realistis dan berdampak tinggi bisa diterapkan lebih dulu, sembari terus membangun infrastruktur, kelembagaan, dan regulasi pendukung. Dengan pendekatan yang tepat, Indonesia memiliki peluang besar untuk membangun sistem energi yang lebih efisien, fleksibel, dan siap menghadapi masa depan berbasis energi terbarukan. (RAS)
