Indonesia menerapkan kebijakan mandatori campuran bioetanol 10% pada bahan bakar (E10). Disampaikan oleh Kementerian ESDM pada Jum’at (24/10) lalu, kebutuhan tahunan untuk memenuhi E10 adalah sekitar 1,4 juta kL etanol. Mengenai hal ini, Prof. Ir. Tumiran, M.Eng., Ph.D., IPU., dosen Departemen Teknik Elektro dan Teknologi Informasi sekaligus Direktur Engineering Research and Innovation Center (ERIC) FT UGM dan Pakar Energi UGM, memberikan pandangannya. Ia menyampaikan dalam wawancara Investor Market Today BeritaSatu, bahwa kebijakan ini merupakan langkah baik menuju kemandirian energi, tetapi membutuhkan kesiapan menyeluruh dari hulu ke hilir.
Prof. Tumiran menyambut baik kebijakan tersebut, tetapi menegaskan bahwa keberhasilan kebijakan tidak hanya dihitung dari ketersediaan etanol saja, tetapi juga memperhitungkan skala kebutuhan energi nasional yang sangat besar. “Konsumsi minyak dan BBM Indonesia saat ini berada pada kisaran 1,5 juta barel per hari. Kalau ingin mengurangi impor dengan etanol, hitungannya harus realistis: kapasitas produksi, kebutuhan bahan bakar, sampai dampak fiskal dan devisa,” ujarnya.
Menurut Prof. Tumiran, sekalipun urgensi E10 adalah pengurangan impor BBM, tapi target E10 menuntut koordinasi lintas-kementerian. Utamanya ialah Kementerian ESDM yang mengatur kebijakan energi dan Kementerian Pertanian mengawal pasokan feedstock seperti tebu, ubi, dan jagung. Selain itu, pemerintah daerah juga perlu dilibatkan untuk menyiapkan lahan dan rantai pasok. “Roadmap nasional, pemetaan lokasi pabrik, dan alokasi lahan harus dirumuskan agar kebijakan tidak menjadi sentralistik dan agar dampak ekonomi tersebar ke daerah,” tegasnya.
Prof. Tumiran juga menilai perlu ada kajian khusus mengenai cukai/perpajakan etanol. Sebab, selama ini etanol identik dengan industri alkohol sehingga rezim fiskalnya masih diperdebatkan. “Jangan sampai etanol untuk BBM justru terhambat di regulasi cukai. Kalau mau memajukan energi terbarukan, model bisnis dan skema pajaknya harus mendukung,” tegasnya. Ia berpandangan bahwa Indonesia perlu mempertimbangkan untuk menyiapkan badan usaha energi terbarukan yang secara khusus mengelola industri bioetanol agar tidak bergantung pada mekanisme pasar BBM fosil.
Mengenai pemanfaatan lahan, Prof. Tumiran menyampaikan bahwa saat ini telah ada beberapa provinsi potensial karena konsentrasi lahan tebu dan pabrik gula, seperti Jawa Timur, Lampung, dan wilayah di Sumatera Selatan. Rencana pembukaan lahan baru dapat dilakukan, tetapi harus memperhitungkan karakter agronomi, keberlanjutan, dan rantai pasok petani.
Sebagai penutup, Prof. Tumiran menekankan pentingnya inovasi pembibitan, mekanisasi, pemupukan presisi, dan peningkatan rendemen tebu agar produksi etanol mampu bersaing dalam harga dan volume. “Kalau kita ingin E10 berhasil, produktivitas harus meningkat. Harus ada terobosan di sisi teknologi pertanian, tidak bisa hanya mengandalkan cara konvensional,” tuturnya. (RAS)
