
Departemen Teknik Elektro dan Teknologi Informasi, Fakultas Teknik, UGM bersama Magatrika UGM bekerja sama dengan PT Wärtsilä Indonesia mengadakan workshop mengenai power system pada Jum’at (9/5). Workshop ini bertajuk “Ensuring Grid Reliability in Modern Power Systems” yang diselenggarakan di Gedung Engineering Research and Innovation Center (ERIC) UGM.
Acara ini menghadirkan dua pembicara dari PT Wärtsilä Indonesia—Wiwin Suhendri (Senior Business Development Manager) dan Febron Siregar (Sales Director)—serta sambutan pembuka oleh Prof. Ir. Sarjiya, S.T., M.T., Ph.D., IPU., Guru Besar UGM dalam bidang operasi dan perencanaan sistem tenaga. Kegiatan ini dihadiri oleh para sivitas akademika DTETI yang terdiri dari berbagai jenjang dari Sarjana, Magister, dan Doktor, menjadi ruang diskusi penting bagi para pelaku dan pemikir sistem tenaga nasional dalam menghadapi tantangan transisi energi.
Dalam sambutannya, Prof. Sarjiya menekankan pentingnya pemahaman praktis dalam pendidikan sistem tenaga. “Selama ini, di kelas kita banyak bicara aspek teoretis. Workshop seperti ini penting untuk membuka wawasan tentang realitas industri dan teknologi terkini,” ujarnya.
Wiwin Suhendri dari Wärtsilä menjelaskan bahwa perusahaannya telah berkontribusi hampir 5 GW kapasitas pembangkit listrik di Indonesia, dari Aceh hingga Papua. Namun, ia menyoroti bahwa belum ada regulasi di Indonesia yang memungkinkan bisnis grid assurance services, atau penyedia layanan khusus untuk menjaga kestabilan jaringan listrik. “Di negara lain, pembangkit bisa dibayar untuk siap siaga menjaga kestabilan. Dipakai atau tidak, mereka tetap dibayar. Di Indonesia, semuanya masih ditanggung PLN. Kita butuh undang-undang yang mengatur ini,” kata Wiwin.
Menurutnya, kebutuhan ini semakin mendesak karena meningkatnya penggunaan energi terbarukan seperti surya dan angin yang bersifat fluktuatif. “Demand (beban) boleh fluktuatif, tapi suplai tidak boleh,” tegasnya.

Febron Siregar mengakui bahwa Indonesia masih tertinggal dalam aspek inersia sistem tenaga, yang penting untuk menjaga kestabilan frekuensi listrik. Namun, ia menyoroti sisi positif dari peningkatan kecepatan respons terhadap fluktuasi beban. “Sekarang, dalam dua siklus saja beban sudah kembali stabil. Di tempat lain butuh 3–4 siklus. Ini menunjukkan sistem kita semakin adaptif terhadap perubahan,” jelasnya.
Sesi terakhir workshop juga membahas tren transisi energi di Asia Tenggara, termasuk perlombaan menuju emisi karbon nol (zero carbon emission). Semua negara di kawasan, termasuk Indonesia, sedang menambah porsi energi non-fosil seperti panel surya dan turbin angin. Namun, transisi ini tidak cukup hanya dengan menambah kapasitas energi terbarukan. Harus ada ekosistem pendukung, termasuk regulasi, sistem kontrol frekuensi, dan pembangkit siaga untuk memastikan keandalan sistem tetap terjaga.
Workshop ini menjadi pengingat penting bahwa sains dan teknologi harus diterapkan, bukan hanya dipelajari. Seperti yang dikatakan pembawa acara pada pembuka workshop, “Science without engineering is just philosophy. It’s always about making science happen.” (RAS)