
Prof. Ir. Sarjiya, S.T., M.T., Ph.D., IPU., dosen Departemen Teknik Elektro dan Teknologi Informasi, Fakultas Teknik, UGM sekaligus Kepala Pusat Studi Energi UGM, hadir sebagai narasumber dalam acara COLONY Insight bertajuk “From Spain’s Blackout to Indonesia’s Reliable Future”, Selasa (27/5). Bersama pembicara lain, Prof. Sarjiya mengupas kronologi dan pembelajaran dari insiden blackout besar di Spanyol–Portugal sebagai cermin kesiapan sistem ketenagalistrikan Indonesia di era transisi energi berbasis Energi Baru dan Terbarukan (EBT).
Blackout di kawasan Iberia pada 28–29 April 2025 menyebabkan kerugian signifikan dan memerlukan hampir 12 jam untuk pemulihan penuh. Peristiwa ini dijadikan bahan refleksi oleh Prof. Sarjiya untuk menyoroti insiden serupa di Indonesia, seperti blackout di sistem Sumatra pada 4 Juni 2024 dan blackout Bali pada 2 Mei 2025. “Kenyataannya, kejadian serupa pernah terjadi di negara kita, dan dampaknya sangat luas,” ujar Sarjiya.
Sebagai peneliti yang juga pernah terlibat langsung dalam investigasi blackout di dalam negeri, Prof. Sarjiya menegaskan bahwa kesiapan sistem ketenagalistrikan Indonesia terhadap penetrasi EBT sangat bergantung pada stabilitas jaringan secara menyeluruh. Ia menekankan bahwa proses integrasi energi terbarukan yang bersifat variabel (Variable Renewable Energy/VRE) menuntut sistem tenaga listrik yang tangguh dan responsif.
Prof. Sarjiya memaparkan bahwa kesiapan sistem ketenagalistrikan Indonesia dalam menghadapi integrasi energi terbarukan telah diuji melalui berbagai studi di beberapa wilayah utama. Pertama, di sistem Jawa-Madura-Bali (Jamali), di mana kajian analisis cadangan fast response menunjukkan bahwa sistem ini telah memiliki kesiapan menghadapi gangguan pada satu unit pembangkit (N-1). Namun, ada batas maksimal penetrasi energi surya (PV) yang harus dijaga agar tidak mengganggu kestabilan sistem. Kedua, dalam sistem Kalimantan ditunjukkan ketahanan serupa, bahkan hingga skenario gangguan dua unit pembangkit sekaligus (N-2), meskipun tetap dibutuhkan peningkatan kapasitas respons cepat dan infrastruktur pendukung. Ketiga, di kawasan timur Indonesia—meliputi Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara—di mana kajian daya dukung sistem menjadi penting untuk memastikan peningkatan penetrasi energi terbarukan tidak melewati batas aman operasional. Wilayah-wilayah ini memiliki karakteristik jaringan yang lebih lemah, sehingga integrasi VRE harus dilakukan dengan perhitungan yang lebih hati-hati agar tidak menimbulkan instabilitas sistem.
Selain itu, ia turut memaparkan rekapitulasi global insiden blackout dari tahun 1965 hingga 2025, menunjukkan bahwa gangguan besar dalam sistem kelistrikan bukan hal baru, namun pola dan skalanya makin kompleks seiring perkembangan teknologi dan desentralisasi energi. Melalui forum ini, Prof. Sarjiya mendorong agar para pemangku kepentingan di sektor energi memperkuat ketahanan sistem tenaga listrik nasional, khususnya di tengah ambisi mencapai transisi energi yang berkelanjutan dan berkeadilan. (RAS)
