Prof. Ir. Sarjiya, S.T., M.T., Ph.D., IPU., dosen Departemen Teknik Elektro dan Teknologi Informasi, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (DTETI FT UGM) sekaligus Direktur Pusat Studi Energi UGM menjadi pembicara dalam Seminar “Pemodelan Strategi Dekarbonisasi Sektor Industri dan Ketenagalistrikan” yang diselenggarakan Fakultas Teknik Universitas Indonesia pada Rabu (29/10). Dalam kesempatan tersebut, beliau menyampaikan materi berjudul “Optimizing Power Sector Decarbonization in Indonesia through an Integrated Policy Modeling Framework.”
Dalam paparannya, Prof. Sarjiya menegaskan bahwa percepatan transisi energi Indonesia membutuhkan pendekatan kebijakan yang tidak hanya bertumpu pada satu instrumen, namun mengintegrasikan berbagai mekanisme seperti carbon tax, emission trading system (ETS), dan teknologi penangkapan-karbon (CCS). Mengacu pada tren kenaikan permintaan listrik—dari sekitar 400 TWh pada 2025 menjadi lebih dari 1.700 TWh pada 2050—Indonesia harus mampu menjaga keseimbangan antara pertumbuhan kebutuhan energi, target bauran energi bersih, dan kesiapan sistem tenaga listrik.
Beliau memaparkan hasil pemodelan berbasis enam skenario kebijakan yang menunjukkan perbedaan mendasar dalam bauran energi, investasi pembangkit, dan tingkat emisi. Skenario tanpa intervensi kebijakan masih memicu dominasi pembangkit fosil, sedangkan skenario terintegrasi—yang menggabungkan carbon pricing, batas emisi, dan CCS—memperlihatkan peningkatan penetrasi energi terbarukan hingga lebih dari 70% pada tahun 2050 serta penurunan emisi yang jauh lebih signifikan. Meski membutuhkan investasi lebih besar, pendekatan tersebut dinilai paling efektif untuk memastikan sistem kelistrikan tetap andal, aman, dan sejalan dengan komitmen Net Zero Emission.

Prof. Sarjiya menutup pemaparan dengan menekankan pentingnya perencanaan jangka panjang, kesiapan infrastruktur jaringan, serta sinyal kebijakan yang jelas bagi industri energi. Menurutnya, dekarbonisasi sistem listrik tidak hanya bicara teknologi, tetapi konsistensi regulasi, koordinasi antarlembaga, dan strategi investasi nasional. Sebab, kebijakan yang terintegrasi akan mempercepat transisi, menjaga ketahanan energi, dan memastikan pembangunan ekonomi tetap berkelanjutan. Dengan riset dan model kebijakan yang kuat, Indonesia diharapkan mampu menavigasi transisi energi menuju sistem tenaga listrik rendah karbon yang andal dan inklusif. (RAS)